31 Agustus 2010

Pentagon Coba Adu Domba India-Pakistan Untuk Tutupi Agenda Tersembunyinya di Afghanistan



Penulis : Tim Riset Global Future Institute (GFI)


Untuk kali kesekian, pemerintah Amerika Serikat mengalihkan isu sentral yang menjadi musabab krisis Afghanistan tak kunjung usai. Lagi-lagi, yang jadi kambing hitam adalah Taliban. Menteri Pertahanan Amerika Robert Gates, menuding Al-Qaeda dan Taliban yang merupakan jaringan pendukungnya di Afghanistan, sedang berusaha memprovokasi meletusnya perang terbuka antara India-Pakistan. Tujuannya, menurut Gates, untuk menciptakan destablisasi di kawasan Asia Selatan.


Aneh juga tudingan Menteri Pertahanan Gates ini, apalagi kalau menelusur kembali fakta bahwa Al Qaeda dan Taliban, bahkan termasuk kelompok Islam yang berbasis di Pakistan seperti Laskar-E Taiba, di masa lalu merupakan organ-organ berbendera Islam yang berada dalam binaan badan Intelijen Amerika CIA dan badan Intelijen Pakistan Inter-Service Intelligence (ISI).

Ini merupakan perkembangan baru yang cukup menarik untuk dicermati. Karena beberapa waktu yang lalu, wartawan Pakistan Post Naveed Miraj, menulis bahwa dalam sebenarnya justru badan intelijen Pakistan ISI-lah yang ketika Taliban masih berkuasa, telah melakukan langkah-langkah strategis dan efektif untuk menumpas dan memberantas perdagangan narkoba. Sedemikian rupa bahkan telah melarang dengan keras penanaman perkebunan ganja 7 tahun yang lalu. Sehingga praktis aparat intelijen Pakistan ISI dan Taliban telah berhasil menutup semua celah terjadinya penyelundupan ganja, narkotika dan obat bius ke pasar global.

Namun semua itu berubah menyusul keputusan George W. Bush untuk melakukan invasi ke Afghanistan dengan dalih perang terhadap terorirsme. Apa yang dilakukan oleh Presiden Afghanistan Hamid Karzai dan para kroninya yang berada di bawah kendali Aliansi Utara(North Alliancce), malah meningkatkan kembali secara drastis produksi dan perdagangan narkoba di kawasan Asia Selatan dan Tengah.

Pada perkembangannya, runtuhnya Taliban akibat serangan militer Amerika pada 2001 lalu, dan tampilnya Hamid Karzai sebagai penguasa baru Afghanistan, ibarat lolos dari mulut macan ke mulut buaya (baca artikel Peter Dale Scott dan Tim Global Future Institute, di http://www.theglobal-review.com).

Rupanya, inilah agenda tersembunyi Amerika di Afghanistan. Membiarkan perdagangan narkoba berkembang bebas, bahkan melibatkan para kroni Presiden Karzai, dan begitu Amerika menangguk dua keuntungan sekaligus. Pertama, keuntungan material yang cukup besar. Dan yang lebih penting lagi, Amerika dengan basis dukungan keuangan yang besar dari perdagangan narkoba ini, bisa mewujudkan agenda-agenda tersembunyinya di kawasan ini melalui sarana-sarana yang ilegal dan bertentangan dengan aturan-aturan hukum yang berlaku. .

Perdagangan Narkoba Dapat Dukungan Diam-Diam dari Dunia Perbankan?

Yang lebih mengejutkan lagi, perdagangan narkoba di pasar global nampaknya secara diam-diam mendapat dukungan kalangan perbankan di Amerika dan Eropa Barat. Sumber Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan bahwa salah satu sebab mengapa dunia perbankan bisa bertahan di tengah-tengah krisis finansial karena berkat triliunan dolar Amerika yang berhasil diraup dari perdagangan narkoba di pasar dunia.

Antonio Maria Costa, kepala Kantor PBB bidang kejahatan dan narkoba, mengatakan bahwa tetap berlanjutnya perdagangan narkoba sebagai bagian dari kejahatan terorganisasi, karena dianggap satu-satunya modal investasi yang tetap liquid di mata kalangan perbankan ketika krisis keuangan global baru-baru ini nyaris meruntuhkan sektor perbankan Amerika dan Eropa.

Bagaimana penjelasannya? Mudah, menurut Antonio Maria Costa. Total keuntungan perdagangan narkoba yang kabarnya mencapai 352 miliar dolar Amerika Serikat itu, kemudian diserap ke dalam sistem perekonomian negara.

Hal ini tentu saja kemudian menyentuh salah satu isu yang cukup krusial. Jangan-jangan para pelaku kejahatan trans-nasional, termasuk yang terlibat dalam perdagangan narkoba, telah mempengaruhi sistem perekonomian negara di tengah-tengah krisis keuangan global yang sedang melanda. Sebab menurut Antonio Maria Costa yang bermukim dan bekerja di Viena, Austria, uang ilegal hasil penjualan barang haram tersebut pada perkembangannya telah diserap ke dalam sistem keuangan masing-masing negara.

Alhasil, penyelidikan secara mendalam terhadap sektor perbankan kiranya sudah saatnya untuk dilakukan oleh komunitas dunia internasional. Apalagi kemudian berkembang temuan bahwa sisi rawan dari sektor perbankan saat ini adalah soal liquid capital alias likuiditas.

Sehingga keuntungan triliunan dolar Amerika yang diraup dari bisnis narkoba, kemudian digunakan untuk menyelamatkan beberapa bank yang akan bangkrut. Mengutip ucapan Antonio Maria Costa: “Inter-bank loans were funded by money that originated from the drugs trade and other illegal activities.”

Sayangnya, Costa menolak untuk secara gambling menyebut negara-negara mana saja atau bank-bank yang mungkin telah menerima suntikan dana yang bersumberkan dari perdagangan narkoba di pasar global. Misalnya bank-bak yang berbasis di Inggris, Swis, Itali dan Amerika.

Namun jika menelusur berbagai riset pustaka yang dilakukan oleh Global Future Institute, terungkap bahwa sejak dahulu kala beberapa bank di Amerika yang terkait dengan kartel minyak klan bisnis George Herbert Bush dan George W. Bush seperti bank BIIS, dengan jelas mengindikasikan bahwa perdagangan narkoba memang merupakan by design dan membawa keuntungan bisnis yang cukup strategis untuk menyelamatkan klan bisnis Bush dan bahkan para konglomerat Amerika seperti dinasti Rockefeller, JP Morgan, dan Rotchild.

Karena itu, situasi Afghanistan yang tetap tidak stabil dan rawan dari segi keamanan, justru merupakan situasi yang kondusif bagi mafia perdagangan narkoba yang sepenuhnya berada dalam perlindungan badan intelijen Amerika CIA.

Pertarungan Dua Faksi Bersenjata Pedagang Narkoba Afghanistan

Maka itu, tudingan Menteri Pertahanan Amerika Robert Gates terhadap Taliban sebagai kelompok pemicu berkobarnya perang India-Pakistan rasa-rasanya terlalu berlebihan dan tidak masuk akal.

Kenyataan yang terjadi di Afghanistan, menurut Richard Clark dalam artikelnya bertajuk US is in Drug Turf War with Taliban?, menulis bahwa perang yang terjadi di Afghanitan saat ini sejatinya melibatkan dua kelompok bersenjata pedagang narkoba. Satu pihak, merupakan kelompok bersenjata yang didukung Amerika. Dan kelompok satunya lagi, merupakan pasukan bersenjata yang didukung Taliban. Namun keduanya, sama-sama berebut akses produksi dan jalur perdagangan narkoba.

Tragisnya, pada perkembangan akhir-akhir ini, Taliban sepertinya berada di atas angin dalam perang antar gang mafia pedagang narkoba ini. Dan ironisnya, keberadaan Taliban sejatinya merupakan kreasi Amerika di era awal 1980-an ketika dijadikan instrument perlawanan bersenjata untuk menghadapi invasi militer Uni Soviet.

Tapi sekarang, kehadiran tentara Amerika dan aparat kepolisian Amerika di Afghanistan, ditujukan untuk mengendalikan kepolisian dan patroli perbatasan Afghanistan. Sementara Taliban sekarang menjadi rival Amerika yang menjadi target operasi Amerika di dengan dalih perang terhadap terorisme. Mereka harus ditemukan baik dalam keadaan hidup atau mati.

Masalahnya adalah, kota Spin Boldak yang berada di sebelah selatan yang berbatasan langsung dengan Pakistan, merupakan pintu masuk menuju ladang ganja yang berlokasi di Kandahar dan provinsi Helmand. Di wilayah ini, tokoh sentral daerah ini (warlord), merupakan pemimpin mafia pedagang narkoba yang sekaligus juga komandan patroli perbatasan dan komandan milisia lokal daerah tersebut. Bisa dibayangkan betapa runyamnya kondisi semacam itu.

Alhasil, sebagaimana kesaksian Richard Clark dalam artikelnya, aparat militer dan intelijen Amerika kemudian bersekongkol dengan para mafia pedagang narkoba tersebut.

Satu lagi bukti, bahwa kehadiran militer Amerika di Afghanistan ternyata menjadi bagian dari masalah, dan bukan solusi dari krisis yang terjadi di Afghanistan sejak 2001 hingga sekarang.


Sumber yang disarankan:
Untuk mendalami lebih lanjut subyek pembahasan ini, pembaca kami persilahkan untuk mengakses http://www.harpers.org/archive/2009/12/0082754.


Sumber : THE GLOBAL REVIEW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri komen Anda ...

Share

Grab This